kita semua kadang terlalu jauh dalam menilai, paradigma baik dan buruk begitu abu abu sebatas apa yang hanya dilihat, membenci buah yang busuk dengan terlalu, sampai melupakan rantingnya, batangnya, bahkan akarnya, layaknya membenci makhluk dengan terlalu, sampai lupa penciptanya. cih, kita semua sudah terlalu jauh mengada ada kan diri dari diri yang
sebenarnya apakah benar benar memang ada? merasa paling benar dan berhak
masuk surga sendirian
bukankah semua didunia ini serba paradoks?
dulu sewaktu kecil aku sering dinasehati ibuku, jangan "terlalu" banyak tertawa, nanti setelahnya tangis kan menyusul dengan "terlalu".
cinta memang menghidupkan, namun "to much love will kill you"
paradoks kan?
pertanyaanku, apa paradoks juga berlaku di kebencian? benci sebenci bencinya sampai kita bertemu suatu titik yang membuat keadaan terbalik
entahlah, aku hanya menjauhi semua yang "terlalu", naif ya
pada akhirnya bukankah keseimbangan yang kita cari?