Senja itu tak seperti biasanya, gerimis, sebuah manifestasi
rasa syukur terpanjat dari tiap menara masjid, menyerukan yang mendengarkannya
untuk “meraih kemenangan”, dan seruan itu tidak mereka jawab dengan “aku pasti
bisa menang” tapi dengan khusyuknya mereka insyafi dengan “tiada daya dan upaya
tanpa pertolonganMu”, suatu bentuk rasa betapa diri ini tak ada artinya tanpa
keridhoan Mu…
Aku mengaji seperti biasanya, ah suasana mana lagi yang bisa
menandingi keromantisan mengaji dikala gerimis, seperti senja itu, tak seperti
biasanya, sampai pada pertengahan lantunanku berubah tak seperti biasanya,
sesak, bergetar, teringat dosa-dosa manusia kotor ini, takut, entahlah bahkan
mata ku sudah penuh dengan linangan air. Tak tahu, aku bukan seorang ahli
bahasa arab yang bisa mengetahui arti kala membacanya. Tak tahu, rasa itu
muncul begitu saja, tanpa sebab tanpa alasan. Setalah aku selesai membaca al
quran, aku mencoba untuk membaca arti dari yang telah ku baca tadi, sebuah
senyuman kecil muncul di bibirku, sungguh ayat yang kubaca senja itu, bercerita
tentang orang munafik, ah apakah ini sebuah tanda? Seruan pertanyaan dari hati
yang amat jarang kusentuh, sebuah pertanyaan hati yang belum berjodoh dengan
jawaban manapun…
Apakah aku masih
dekat dengan kemunafikan ya Allah?
Apakah apabila berjanji masih diri ini ingkar?
Apakah apabila berkata masih diri ini berdusta?
Apakah apabila diamanahi masih diri ini ingkar?
Jika ada bentuk permintaan yang lebih baik dari permohonan
ampun akan ku lakukan ya Gusti Allah…