Sabtu, 19 Desember 2015

benci sampai akarnya

kita semua kadang terlalu jauh dalam menilai, paradigma baik dan buruk begitu abu abu sebatas apa yang hanya dilihat, membenci buah yang busuk dengan terlalu, sampai melupakan rantingnya, batangnya, bahkan akarnya, layaknya membenci makhluk dengan terlalu, sampai lupa penciptanya.  cih, kita semua sudah terlalu jauh mengada ada kan diri dari diri yang sebenarnya apakah benar benar memang ada? merasa paling benar dan berhak masuk surga sendirian

bukankah semua didunia ini serba paradoks?
dulu sewaktu kecil aku sering dinasehati ibuku, jangan "terlalu" banyak tertawa, nanti setelahnya tangis kan menyusul dengan "terlalu". 
cinta memang menghidupkan, namun "to much love will kill you"
paradoks kan?
pertanyaanku, apa paradoks juga berlaku di kebencian?  benci sebenci bencinya sampai kita bertemu suatu titik yang membuat keadaan terbalik
entahlah, aku hanya menjauhi semua yang "terlalu", naif ya

pada akhirnya bukankah keseimbangan yang kita cari? 

ngeri kan?

pernah gak, kamu melewati waktu,
berjalan tanpa berpindah,
berlalu tanpa langkah,
1 detik yang lalu sama dengan 1 detik yang akan datang,
persepsi perubahan yang ada didirimu tak kunjung memenuhi ekspektasimu
perjalananmu hanya berputar, siklus yang tak kunjung henti
bertanya terus menerus namun tak pernah berjodoh dengan jawaban apapun

kamu melewati waktu, namun nothing changes happen
ngeri kan?